Suaka Margasatwa Lamandau, Bagaimana Nasibmu Esok?
Suaka Margasatwa Lamandau (SML) adalah salah satu kawasan lindung yang berada di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Jika kita melihat sekilas sejarah SML, kawasan ini dulu adalah hutan produksi dua perusahaan kayu. Berubah menjadi suaka margasatwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 162/Kpts/II/1998 tertanggal 12 Februari dengan luas ± 76.110 hektar.
Namun meski telah berubah status menjadi sebuah kawasan lindung, tidak ada perubahan yang terlalu berarti pada kawasan ini. Dalam usianya yang sudah memasuki sembilan tahun, pemerintah belum terlihat optimal mengelola kawasan itu. Penebangan liar (illegal logging) masih kerap terjadi. Keberadaannya sebagai sebuah kawasan yang dilindungi kelihatannya juga belum dipahami oleh masyarakat. Padahal jika aksi perlindungan dan pelestarian tidak dilakukan, SML akan musnah.
Apalagi kini sudah tidak banyak hutan yang tersisa di bumi Indonesia. Akibat penebangan baik legal maupun ilegal, kebakaran serta pembakaran hutan, hampir seluruh hutan yang ada kini dalam keadaan “gawat darurat”. 75% hutan di
Meski kerusakan hutan di Indonesia sudah secara nyata terpampang di depan mata, niat pemerintah untuk menjaga kelestarian hutan masih sangat lemah. Ketidakmauan masyarakat untuk menjaga hutan kadang malah dijadikan alasan. Padahal masyarakat di sekitar hutan akan terus menggarap hutan bila pemerintah tidak berniat keras untuk memberikan alternatif pekerjaan. Sehingga sekeras dan sebanyak apapun kampanye penyelamatan hutan akan percuma, karena masyarakat dihadapkan pada realitas hidup yaitu keperluan untuk makan, menyekolahkan anak, berobat dan lain-lain. Artinya mereka akan terus menggarap hutan sebagai sumber penghasilan mereka secara turun temurun. Namun perlu diingat, alternatif pekerjaan baru itu juga harus sesuai dengan kultur mereka sehingga tidak terjadi benturan sosial di kemudian hari.
Selama ini kebijakan pemerintah dalam pelestarian dan pengelolaan hutan hanya menggunakan pola pendekatan developmentalis dan ekofasisme yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi, menegasikan serta mengabaikan keberadaan masyarakat adat atau lokal. Konsep pengelolaan kawasan lindung yang juga sangat sentralistik malah menjadi titik terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan rakyat. Padahal banyak diantara mereka yang telah turun temurun hidup dan melestarikan habitat ekologis lewat tradisi kearifan lokalnya.
Pengelolaan kawasan lindung masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat. Pengertian konservasi sebagai kawasan yang steril dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Tidak adanya kesadaran aparat negara (TNI/Polri) dan pemerintah terhadap pelestarian sumber daya hayati, peminggiran hak-hak sosial, ekonomi dan budaya serta hak kepemilikan adat istiadat, merupakan fenomena yang nyaris terjadi secara masif dalam kurun waktu terakhir. Hal ini yang mengakibatkan sering terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan lindung, misalnya di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Gunung Halimun serta beberapa kawasan lindung lainnya di
Sebagai contoh kasus terjadi di Taman Nasional Komodo. Masyarakat nelayan dilarang menangkap ikan di kawasan yang dulunya merupakan wilayah tangkap tradisional mereka, yang kemudian diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional. Bahkan sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah taman nasional, banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat. Setidaknya 10 orang meninggal akibat tindakan represif aparat yang menuduh mereka memasuki wilayah terlarang Taman Nasional Komodo.
Adanya larangan terhadap masyarakat untuk masuk ke wilayah kawasan lindung telah menjadikan masyarakat semakin sengsara dan termarginalkan. Penutupan akses rakyat atas sumber penghidupan mereka dengan dalih konservasi malah menjadi sebuah tindakan pelanggaran HAM. Padahal pelestarian kawasan lindung juga harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Oleh karena itu, pemerintah selaku pembuat kebijakan harus mengambil langkah konkret jika tidak ingin SML musnah. Kebakaran dan pembakaran lahan, konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit serta kegiatan penebangan hutan, merupakan kegiatan yang mengancam keberadaannya. Namun, bukan dengan memasang batas wilayah dan melarang masyarakat untuk masuk ke dalam hutan. Atau bahkan mengambil tindakan represif dengan menembak siapa saja yang masuk dan mengambil sesuatu dari hutan. Pemerintah harus memberikan dan menghormati sepenuhnya hak kedaulatan rakyat atas pengelolaan tanah, hutan dan sumber daya alam, berbasis sistem kelola hutan kerakyatan.
Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah memberikan penyadaran akan pentingnya keberadaan SML bagi kehidupan. Masyarakat harus tahu bahwa flora dan fauna dalam kawasan itu secara langsung maupun tidak langsung berjasa terhadap keberlangsungan hidup mereka. Sebab selama ini masyarakat awam hanya mengetahui bahwa nilai ekonomis dari hutan adalah kayu. Padahal secara tidak langsung, keuntungan yang diperoleh dari hutan termasuk SML banyak sekali, antara lain menjaga stok air bersih, bahan obat-obatan, mengurangi polusi, proteksi tanah, produk hutan non kayu, rekreasi atau pariwisata, pendidikan dan penelitian ilmiah.
Sebagai contoh, sekarang masyarakat
Walaupun tidak mudah untuk menghitung secara langsung sumber daya air yang ada di SML, namun peran tersebut bisa dilihat secara langsung dengan menghitung berapa kapasitas air yang diperlukan oleh sawah, ladang, kebun dan pemukiman masyarakat yang ada di sekitar SML. Bahkan secara global, SML juga akan berjasa menjaga keseimbangan iklim dan mereduksi berkurangnya pemanasan global.
Penebangan hutan secara liar di Indonesia juga sudah merugikan negara tiga miliar dolar Amerika per tahun. Korupsi akibat penebangan liar juga merajalela. Penebangan menyebabkan krisis air ataupun banjir yang merugikan petani secara ekonomi akibat gagal panen. Dengan demikian pastilah akan lebih besar keuntungan yang didapat dengan mengelola SML secara berkelanjutan, dibanding dengan mengambil kayunya saja.
Apalagi SML kaya dengan keanekaragaman hayati. Dengan berada pada dataran rendah dan bertipe ekosistem hutan rawa air tawar, vegetasi yang mendominasi di kawasan itu adalah Ramin (Gonystylus bancanus), Meranti (Shorea sp), Jejambu (Eugenia sp), Cemara (Cassuarina sp), Ulin (Eusidexroxylon zwageri) dan Kompas (Koompasia malaccensis). Fauna yang hidup dalam kawasan ini sangat beragam, antara lain Orangutan (Pongo pygmaeus), Bekantan (Nasalis larvatus), Owa (Hylobates agylis), Beruang madu (Helarctos alayanus), Rusa (Cervus sp) dan Kancil (Tragulus sp). SML juga menjadi tempat pelepasan orangutan sitaan yang telah dikarantina di Orangutan Care Centre and Quarantine (OCCQ) yang terletak di desa Pasir Panjang, Pangkalan Bun.
Sekali lagi! Hutan termasuk SML memberikan kita sebuah kehidupan, baik dimasa sekarang maupun masa yang akan datang. SML yang merupakan salah satu hutan yang tersisa harus dijaga agar tidak rusak seperti kawasan hutan lainnya. Meski tanggungjawab utama tetap berada ditangan pemerintah, semua pihak harus turut menjaga dan melestarikannya. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Kepolisian, pihak swasta dan masyarakat harus bahu membahu.
***Astri Rozanah Siregar